Wednesday, October 27

Raden Mas Penewu Surakso Hargo

Bagi orang Yogja, nama itu bisa setenar nama Sultan Hamengkubuwono. Lelaki kelahiran tahun 1927 itu memang ditunjuk sebagai Juru Kunci gunung Merapi oleh Sang Sultan sejak 1982.

Tahun 2006, namanya semakin terkenal karena ia ‘enggan’ turun gunung untuk mengungsi dari desa Kinahrejo yang hanya berjarak 5 km-an dari lereng Merapi. Karena keteguhan dan ketenangannya itu, banyak media massa dan orang yang percaya bahwa beliau memiliki “hubungan khusus” dengan penguasa Merapi, memiliki ilmu dan kesaktian yang menjadikannya tahu apakah Merapi akan meletus atau tidak. Bahkan bagi sebagian orang, ia sendiri disebut sebagai penguasa Merapi.

Maka ketika berita meninggalnya Mbah Marijan di lereng gunung Merapi menyebar, sebagian orang memandangnya dengan sinis. Ironis dan tragis, katanya, sang juru kunci justru tewas di tangan gunung yang dijaganya. Bukan engkau Mbah, yang bisa memerintah Merapi, kata yang lain.

Benarkah gambaran sosok Mbah Marijan yang demikian? Adakah yang mengenal dengan dalam sosok manusia sepuh ini?
Mbah Marijan sebagai Hamba Allah yang Shalih

Bayu Gawtama, salah seorang tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) Dompet Dhuafa Republika, berhasil menemuinya pada tahun 2006 dan mengungkap keshalihan pribadi pria beralias Raden Mas Penewu Surakso Hargo ini dalam blognya. Berikut adalah kutipan ungkapan-ungkapan beliau, yang penuh hikmah dan bisa kita ambil pelajarannya.

“Jangan tanya saya, tanyakan kepada Allah. Dia yang mengatur semua, Gusti Allah yang punya kehendak.”
Jawaban si Mbah ketika orang bertanya kapan Merapi akan meletus.

“Kamu itu harus sering melihat ke bawah, jangan ke atas. Lihat nih Mbah, hidupnya seperti ini. Kasih tahu teman-teman yang hidupnya berlebih, contoh Mbah yang sederhana ini,” sambil memperlihatkan gajinya dari Keraton yang cuma Rp. 5.800,-

“Masalahnya, saya diizinkan atau tidak oleh pemerintah kalau saya berdoa kepada Gusti Allah… Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus.”

“Saya ini orang kecil, hanya berbahasa menggunanakan bahasa orang kecil. Karena itu, omongan saya didengar oleh orang kecil. Bahasa Indonesia itu hanya dipakai oleh orang besar. Dan bahasa Indonesia itu terkesan sombong, saya tak mau dibilang sombong.” (Tentang keengganannya berbahasa Indonesia)

Demikianlah, sebuah gambaran sisi kemanusiaan dari Mbah Marijan yang suka berdzikir di Masjid di depan rumahnya itu. Sosok yang rendah hati dan sederhana. Yang memegang teguh amanat hingga akhir hayatnya meski dengan upah yang tak seberapa. Yang meyakini keterbatasan kemampuan dirinya. Yang takut akan kesombongan dan meyakini sepenuhnya bahwa pada Allah-lah pengetahuan yang ghaib dan kekuasaan yang sebenarnya.


thumbs up untuk Mbah Maridjan... meskipun kita hanya bertemu sekali.. tapi beliau adalah hamba yg taat "turu o neng njeru sek.. sesuk isuk lagi munggah" itu perkataan simbah kepada kami dulu sewaktu mau mendaki merapi...

Innailahi wainnaillahi rojiun...

jasamu ta terlupakan  



0 Comments:

Post a Comment

<< Home